Potret Pendidikan dan Kebudayaan di Pedalaman Negeri Rempah-Rempah
Oleh: Mochamad Machrus Ali, S.Pd., Gr.

Hidup adalah pilihan. Sebuah kalimat sarat makna yang harus diterjemahkan oleh setiap orang. Agama Islam menyatakan bahwa takdir setiap orang sudah dituliskan jauh di mana orang itu sebelum dilahirkan ke dunia. Jodoh, rezeki, kematian, semua yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup kita semua sudah diatur dalam catatanNYA (lauh mahfudz). Lalu bagaimanakah kita akan menjalani hidup? Apakah kita hanya berpangku tangan menunggu takdir menjemput kita? Tentunya tidak. Meskipun semuanya sudah diatur oleh Tuhan, kita tetap mempunyai andil untuk mengusahakan takdir kita, hal itu dikarenakan kita tidak tahu takdir kita, kita tidak tahu bagaimana hidup kita, kita tidak tahu bagaimana karir kita dan juga kita tidak tahu kapan kita akan “dipanggil” olehNYA. Hidup adalah pilihan. Kita harus memilih jalan hidup kita. Ini cerita tentang pilihan hidup saya.

Saya Mochamad Machrus Ali (Pendidikan Geografi UNY) dan Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) menjadi pilihan hidup saya. Sebuah program pemerintah yang dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang memprakarsai program tersebut. Program pemerataan pendidikan yang layak dengan menempatkan sarjana pendidik muda yang siap ditempatkan di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masalah pemerataan pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Banyak anak-anak di daerah 3T tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Kesenjangan daerah kota-kota besar dengan daerah 3T sangat terpaut jauh. Permasalahan pendidikan di kota adalah minat belajar siswa kurang, tawuran, kenakalan peserta didik, yang sangat berbanding terbalik dengan permasalahan yang ada di daerah 3T, fasilitas pendidikan yang tidak memadah dan tenaga pendidik yang tidak mencukupi. SM3T hadir untuk sedikit mengurangi kesenjangan tersebut. Sebuah kebanggaan bagi diri saya bisa menjadi bagian dari SM3T Kemendikbud tahun 2016. 


Foto : Lokasi Kabupaten Kepulauan Sula
Pulau-pulau di gugusan provinsi maluku utara adalah sumber cengkeh dunia yang melegenda. Pedagang India, Arab, Tiongkok dan Jawa sering berkunjung ke Ternate, Tidore, dan banda yang menjadi sumber rempah-rempah dunia. Mereka pulang membawa komoditi berharga itu ke negara asal untuk dijual dengan harga tinggi. Cengkeh, bersama-sama dengan pala dan fuli itu begitu berharga sebanding dengan emas karena digunakan sebagai bumbu makanan dan untuk mengawetkan makanan atau sebagai bahan obat-obatan, oleh karena itu Maluku utara di juluki sebagai “Negeri Rempah-Rempah”. Kabupaten Kepulauan Sula merupakan kabupaten yang terletak di Provinsi Maluku Utara yang berjarak 284 km dari Ternate sebagai ibu kota provinsi. Kabupaten Kepulauan Sula memiliki slogan “Dad Hia Ted Sua” dari bahasa Sula yang berarti “Bersatu Angkat Sula”, umumnya telah dipahami oleh masyarakat yang merupakan motto lambang daerah bermakna keutuhan masyarakat Kepulauan Sula sejak dahulu kala dijiwai rasa persatuan, kebersamaan, gotong royong dalam suatu bahtera kehidupan dengan hati suci dan ikhlas serta rela berkorban untuk kepentingan bersama walaupun berbeda Agama, Adat Istiadat, Suku dan lain-lain sehingga seberat apapun tantangan yang dihadapi akan menjadi ringan.
Proses panjang telah berlalu, mulai dari pendaftaran online, tes kompetensi professional online, tes wawancara dan micro teahing, setelah lulus semua dilanjutkan prakondisi di Akademi Angkatan Udara Yogyakarta, sampailah pada pengumuman penempatan yaitu di Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Asing rasanya mendengar nama kabupaten tersebut, setelah di cari tahu keberadaannya, akhirnya saya tahu lokasinya. Mengenai lokasi Kepulauan Sula, apabila kita menyapu pandang peta Negara Indonesia dari ujung ke ujung, pulau ini mungkin mudah terlewatkan. Mungil jika dibandingkan Sulawesi dan Maluku di sisi barat dan timur lautnya, Kepulauan Sula terdiri dari dua pulau utama yang menyerupai pistol menghadap ke kiri. Melakukan zooming in ke kepulauan mungil tersebut dan berada langsung di sana, seperti menelisik sebuah cawan petri berisi sampel biologi melalui mikroskop lalu mengecilkan diri hingga bisa hadir di tengah-tengah jaringan selnya.

Mayoritas penduduk Kabupaten Kepulauan Sula memeluk agama Islam dengan masih mempertahankan tradisi kesukuan. Suku-suku besar yang terdapat di kabupaten ini adalah Suku Fatcei, Fagudu, Falahu dan Mangon. Kehidupan perekonomian di ibukota kabupaten (Sanana) sudah cukup baik. Ditandai dengan adanya supermarket, pasar, dan kompleks pertokoan yang cukup lengkap, mulai alat-alat elektronik sampai alat-alat perkakas rumah tangga sudah tersedia. Sedangkan di sebagian besar wilayah pedesaan, penduduk menggantungkan kehidupannya pada sektor perkebunan, seperti cengkeh, kelapa, pala dan jambu monyet. Selain itu penduduk juga menggantungkan hidupnya dari mencari ikan di laut, sehingga kehidupan sebagian besar penduduk yang ada di desa sangat bergantung pada alam.
Mari kita tengok sisi lain dari Kabupaten Kepulauan Sula. Sisi yang lebih mendalam (dalam artian sebenarnya). Menuju ke pedalaman, ke balik gunung tepatnya. Desa Ona, Kecamatan Sulabesi Barat yang menjadi tempat pengabdian saya selama satu tahun. Kami berjumlah 53 guru SM3T yang disebar di seluruh pelosok desa di kabupaten ini.Desa Ona merupakan sebuah desa terisolir baik dari segi transportasi, maupun sarana prasarana. Untuk menuju desa ini kita harus menggunakan perahu motor kecil yang penduduk setempat biasa menyebutnya longboat atau bodi menyusuri tepian pulau Sulabesi. Waktu tempuh menuju desa ini 3 jam dari ibukota kabupaten. Padahal letak desa ini satu daratan dengan Ibukota Kabupaten tetapi untuk menuju tempat tersebut harus menggunakan transportasi laut, karena memang belum ada akses jalan darat yang menuju ke desa tersebut.
Foto : Body atau Longboat, yaitu transportasi laut warga setempat
Kalau kita dikota ketika mati listrik sebentar saja pasti semua orang akan ribut dan menelfon PLN, di sini kita harus bersabar dan berbesar hati karena listrik belum masuk ke desa ini. Komunikasi pun sangat terbatas karena hanya bergantung pada tower mini penangkap sinyal, itu pun letaknya didesa sebelah, sehingga jangan berharap banyak kalau cuaca mendung atau hujan pasti sinyal hilang. Sebagian besar lokasi desa di kabupaten ini berada di daerah pesisir yang menjadikan masyarakatnya selain berkebun juga mencari ikan di laut sebagai mata pencahariannya. Ikan kawahi (ikan Julung) meruapakan ikan khas hasil tangkapan nelayan di Desa Ona. Masyarakat menangkap ikan ini dengan menggunakan jiup. Jiup adalah perahu yang telah dimodifikasi khusus untuk menangkap ikan kawahi dengan diberi sayap dan alat untuk mengendalikan perahu yang terletak dibagian belakang. Para nelayan menangkap ikan kawahi menggunakan jaring, namun ada yang unik dari cara penangkapan ikan ini yaitu menggunakan kelari (daun kelapa kering) yang sudah diberi doa sebelum dijadikan umpan. Konon katanya, setelah gerombolan ikan menghampiri umpan yang dilemparkan, ikan tersebut tidak bisa menghindari jaring nelayan.


Foto : ikut membantu warga setempat menjaring ikan di laut.
Memaknai arti sebuah pengabdian yang sesungguhnya memang membutuhkan kesabaran, kerendahan hati, dan ketulusan dalam melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar dengan fasilitas “seadanya”. Hal tersebut menjadi pertanyaan besar bagi saya, apakah saya bisa amanah dalam melaksanakan tugas tersebut. Lokasi mengajar saya berada di SMA Negeri 2 Sulabesi Barat. Sekilas terdengar hebat, sekolah tingkat SMA dan berstatus negeri, namun pada kenyataannya sekolah tersebut merupakan sekolah yang baru dibentuk. Peserta didik baru satu kelas dengan jumlah 26 peserta didik, dan bangunan sekolah belum ada. SMA N 2 Sulabesi Barat ini masih menumpang di salah satu ruang SD Negeri Ona, dengan memanfaatkan gudang kosong sebagai ruang guru. Jika berbicara fasilitas pastilah sangat terlampau jauh dengan sekolah-sekolah yang ada di kota, dan saya tidak akan membahas itu. Semuanya kembali lagi pada sejauh mana kita bersabar dan sejauh mana kita ikhlas.
Negara Kesatuan Republik Indonesia meruapakan negara dengan sejuta budaya, adat, suku, kesenian, dan ras yang dipadukan menjadi sebuah harmoni yang sangat indah. “Bhineka Tunggal Ika” menjadi landasan kita dalam hidup. Pepatah mengatakan “dimana langit dipijak, disitu bumi dijunjung”, begitulah seharusnya pepatah yang menjadi landasan saya dalam menjalani proses pengabdian. Kebudayaan masyarakat yang khas, dan ritual keagamaan yang menjadi ciri khusus daerah Kabupaten Kepulauan Sula, diantaranya upacara perayaan pernikahan. Acara tersebut dimulai dari ritual ijab qabul yang berbeda dengan daerah lain, dimana tangan mempelai laki-laki saat ijab dilaksanakan berjabat tangan dengan wali nikah mempelai perempuan yang dibungkus sehelai kain, yang menandakan sebuah ikatan batin. Dilanjutkan dengan serangkaian upacara adat yang hanya terdapat di kabupaten ini. Keunikan kebudayaan di kabupaten ini adalah adanya pesta joget dengan iringan music DJ, dengan bebearapa jam awal adanya tarian khas darah Maluku, yaitu goyang Tobelo, Kalipso, Nona Kairatu dan beberapa tarian khas lainnya. Acara joget ini biasanya berlangsung semalam suntuk. Saya sebagai pendatang merasa senang dalam acara ini, karena kita bias membaur dengan masyarakat, mempelajari kebudayaan mereka, dan pertama kali saya mengikuti acara joget malam ada sambutan hangat dari pemuda untuk mengajari saya beberapa tarian/joget khas Maluku. Sebuah kebanggan yang memeberikan pengalaman yang sangat luar biasa. Dan masih banyak kebudayaan lain yang membuktikan bahwa Indonesia sebuah Negara dengan sejuta keindahan kebudayaannya.
Pertama kali masuk di sekolah tempat mengabdi, terlihat sekali sambutan yang hangat dari seluruh guru, siswa dan juga karyawan sekolah. Penyambutan ini menepiskan anggapan saya bahwa orang Maluku mempunyai sifat yang keras dan terlihat kejam. Saya belajar dari sebuah perkataan yang muncul dari salah seorang guru asli setempat. Beliau mengatakan bahwa “orang Maluku itu seperti pohon sagu, diluar terlihat keras, akan tetapi didalamnya ada sagu yang lembut dan putih, yang apabila diolah bias menjadi makan yang lezat jika dipadukan dengan ikan kuah”. Hal itulah yang membuat saya belajar bahwa jangan selalu menilai dari tampilan luarnya saja, tapi kita harus bias melihat jauh lebih dalam dari itu, kita juga harus bias memadukan dan menyatu dengan lingkungan sekitar supaya bias hidup berdampingan, selaras, serasi, dan seimbang, layaknya perpaduan antara papeda (sagu) dengan ikan kuah.
Foto : outdoor study
Beberapa purna berlalu, hari berganti bulan. Setelah beberapa bulan mengajar di lokasi pengabdian banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan. Semangat belajar siswa dalam keterbatasan, dimana bukan kemalasan saja yang mereka lawan. Setiap malam mereka rela ditemani lampu pelita untuk menerangi belajar. Keterbatasan sumber belajar berupa buku dan mereka dipaksakan untuk memahami hal-hal yang bahkan mereka belum bias membayangkan bentuknya. Ketika dalam mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang tuntutannya mereka bias mengoperasikan perangkat computer, padahal mereka masih bertanya-tanya apa itu computer, dan seperti apa bentuknya. Miris memang, kesenjangan pendidikan di kota dan di pelosok pedalaman. Namun yang menjadikan saya bangga dan salut adalah mereka tidak pernah patah semangat dalam belajar, mereka mempunyai cita-cita yang tinggi untuk merubah garis keturunan hidupnya, dan satu lagi mereka selalu yakin bahwa suatu saat desa mereka akan maju, berkembang menjadi jauh lebih baik. Saya merasa senang dan bangga pernah berjuang bersama mereka. Malaikat-malaikat dengan sejuta impian dalam berbagai keterbatasan.